Selama saya tinggal di Yogyajarta, sudah dua kali saya merasakan ganasnya amukan alam, yaitu: Gempa Bumi Yogyakarta, tahun 2006, dan letusan Gunung Merapi 2010, yang hari ini saya dengar dari TV, statusnya baru saja diturunkan, dari awas menjadi siaga.
Saya melihat langsung dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana gunung merapi memuntahkan awan panas yang bercampur dengan material batu dan debu. Pemandangan itu tampak jelas dari kota Yogyakarta, terutama saat cuaca sedang cerah, dimana gunung merapi tidak tertutup oleh kabut/awan. Dan saat malam hari, lahar panas, tampak jelas keluar dipuncak gunung merapi, dengan warna merah menyala.
Sejak meletusnya gunung merapi, masyarakat kota Jogjakarta, termasuk saya, sehari-hari akrab dengan masker dan penutup mata (kaca mata), terutama saat di luar rumah. Hujan debu/abu vulkanik dari gunung merapi membuat sebagian besar masyarakat kota jogja, malas keluar rumah untuk beraktivitas. Bahkan, banyak mahasiswa dan orang-orang yang bukan asli Jogja, memilih untuk meninggalkan kota Jogjakarta, karena ketakutan.
Banyaknya pengungsi gunung merapi, membuat banyak titik pengungsian di dalalam kota Jogjakarta. Selain stadion, beberapa kampus pun menjadi tempat pengungsian. Saya bersama beberapa teman kost, sempat menjadi relawan, membantu mengantarkan logistik ke beberapa titik-titik pengungsian. Walaupun bantuan kami tidak seberapa, namun kami merasa sangat senang, karena sudah bisa ikut berpartisipasi dalam pemberian bantuan bagi para korban pengungsi letusan gunung merapi.
Syukurlah, sekarang aktivitas di Jogjakarta sudah kembali normal, seiring dengan semakin menurun-nya akvititas gunung Merapi. Semoga peristiwa letusan besar gunung merapi seperti ini, tidak lagi dirasakan oleh masyarakat Jogjakarta. Amin!